Aku ingat jelas saat pertama kali sadar setelah operasi. Selain rasa sakit yang membekukan, hal lain yang membuatku tertegun adalah keberadaan pen di tanganku. Tidak hanya pen dalam yang dipasang untuk menyambung tulang, tetapi juga pen luar yang menonjol dari area sikuku. Bayangkan, ada besi yang tampak seperti sekrup keluar menembus kulitku. Setiap kali melihatnya, tubuhku merinding, pikiranku dipenuhi ketakutan, dan aku merasa seolah-olah bagian tubuhku bukan lagi milikku.
Awal-awal pascaoperasi menjadi ujian mental terbesar dalam hidupku. Aku masih ingat dengan jelas momen saat harus membuka perban untuk pertama kalinya. Tugas sederhana itu saja menjadi drama yang sulit kulupakan. Tanganku bergetar, keringat dingin mengalir di dahiku, dan begitu perban terlepas, aku melihat luka yang mengelilingi pen itu. Pemandangan besi yang keluar dari kulitku membuatku berteriak histeris. Aku menangis seperti anak kecil, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi juga karena ngeri melihat tubuhku sendiri.
Anakku, yang saat itu berada di ruangan, hanya bisa menatapku dengan bingung. "Mama kenapa?" tanyanya dengan polos. Pertanyaannya membuatku tersadar aku tidak boleh terus-menerus terlihat lemah di depan anakku. Tapi kenyataannya, setiap kali aku harus mengoleskan salep di sekitar area pen, rasanya seperti menantang diriku sendiri. Setiap gesekan kecil di sekitar pen membuatku merasakan nyeri tajam yang memaksa air mata menetes tanpa henti.
Pakaian pun menjadi masalah baru. Untuk mengganti baju, aku harus sangat berhati-hati. Aku takut kain baju akan tersangkut di pen luar, menyebabkan luka yang lebih parah. Aku bahkan sempat memotong beberapa baju lama agar lebih mudah dipakai tanpa menyentuh pen. Tapi tetap saja, setiap kali baju menyentuh area sekitar pen, aku menahan napas dan berharap tidak ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul.
Hari-hari itu membuatku merasa benar-benar kecil. Aku, yang biasanya mandiri, sekarang harus meminta bantuan Ibuku untuk hal-hal sederhana seperti mandi atau mengganti pakaian. Setiap gerakan terasa seperti ujian, dan aku sering bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir. Namun, satu hal yang selalu kujaga adalah semangat untuk terus mencoba. Meski takut, aku tetap berusaha membersihkan area pen setiap hari, meyakinkan diriku bahwa ini semua adalah bagian dari perjalanan menuju pemulihan.
Pengalaman itu mengajarkanku satu hal penting: tubuh kita memiliki batasan, tetapi mental kita adalah kunci untuk melampaui rasa sakit dan ketakutan. Meski saat itu aku merasa rapuh, aku tahu bahwa perlahan-lahan aku akan sembuh, baik secara fisik maupun mental. Bagaimanapun juga, aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Anakku adalah pengingat bahwa aku harus kuat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuknya.